Sabtu, 16 April 2011

asal-usul NARSIS...

Alkisah, Narcissus adalah seorang muda
yang setiap hari berlutut di dekat
sebuah danau untuk mengagumi
keindahannya sendiri. Ia begitu
terpesona oleh dirinya hingga, suatu
pagi, ia jatuh ke dalam danau itu dan
tenggelam. Di titik tempat jatuhnya itu,
tumbuh sekuntum bunga yang dinamakan
narcissus. Setelah itu, dewi-dewi hutan
muncul dan mendapati danau tadi, yang
semula berupa air segar, telah berubah
menjadi danau airmata yang asin.

"Mengapa engkau menangis?" tanya
dewi-dewi itu.

"Aku menangisi Narcissus," jawab danau.

"Oh, tak heranlah jika kau menagisi
Narcissus," kata mereka, "sebab walau
kami selalu menari dia di hutan, hanya
kau saja yang dapat mengagumi
keindahannya dari dekat."

"Tapi ...indahkah Narcissus?" tanya danau.

"Siapa yang lebih mengetahuinya daripada
engkau?" dewi-dewi bertanya heran. "Di
dekatmulah ia tiap hari berlutut
mengagumi dirinya!"

Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya,
ia berkata :

"Aku menangisi Narcissus, tapi tak
pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu
indah. Aku menangis karena, setiap ia
berlutut di dekat tepianku, aku bisa
melihat, di kedalaman matanya, pantulan
keindahanku sendiri."

[a story taken from "The Alchemist" by
Paulo Coelho]


Terminologi narsis tampaknya akhir-akhir
ini kian jamak dilontarkan oleh sebagian
besar orang. Perempuan, lelaki, dewasa,
atau remaja, kerap menggunakan kata
tersebut. Kata ini biasanya ditujukan
pada orang-orang yang memiliki
kecender ungan untuk mencintai dirinya
sendiri dan kemudian bermanifestasi pada
tingkah lakunya. Hal yang paling sering
dilakukan orang yang mendapatkan label
narsis adalah orang tersebut senang
membicarak an dan memuji dirinya sendiri
di hadapan orang lain. Bisa jadi pujian
pada dirinya tersebut benar adanya,
tetapi yang kerap kali terjadi adalah
pujian tersebut sesungguhnya sangat jauh
kenyataan. Seseorang yang senang
memotret dirinya, juga dapat dengan
mudah diberi label narsis.


Sigmund Freud, bapak ilmu jiwa
menguraikan dalam tulisannya bahwa
narsis mengacu pada NPD [Narcissistic
Personality Disorder], sebutan untuk
mengenali kondisi yang mengarah pada
gangguan karakter individu yang
menunjukkan kesombongan, egoisme, dan
kecintaan yang berlebihan pada diri
sendiri. Namun, istilah tersebut dapat
juga dikenakan pada kelompok sosial
tertentu yang mengarah pada sikap
membenarkan keburukan anggotanya, Jadi,
dipandang dari sisi psikologis, sifat
narsis sebetulnya telah masuk dalam
kategori penyakit kejiwaan. Setiap orang
sejatinya punya sifat ini, tetapi dalam
derajat yang berbeda. Jika Anda memiliki
derajat narsis yang cukup tinggi,
siap-siap saja berobat ke psikolog.


Ada berbagai faktor yang dapat
menyebabkan seseorang cenderung menjadi
narsis. Faktor-faktor tersebut antara
lain adalah faktor instrinsik [bawaan
lahir...h ati-hati nih buat calon orang
tua yang narsis, bisa menurun ke anaknya
lho ternyata!] dan faktor eksternal yang
berasal dari lingkungan. Terkait dengan
faktor eksternal, narsis biasanya timbul
akibat adanya pengakuan yang berulang
kali dari orang lain terhadap seseorang.
Misalk an saja, seseorang kemudian merasa
dirinya cantik karena banyak orang yang
memberikan predikat tersebut kepadanya,
meski pada awalnya dia tak merasa demikian.


Lebih lanjut, narsis ternyata tidak
hanya bermanifestasi pada perilaku yang
senang memuji dirinya sendiri,
berlama- lama berdiri di depan cermin,
atau kerap berfoto layaknya seorang
model, tetapi juga terdapat implikasi
lain dari sifat narsis ini sendiri. Di
antara implikasi tersebut adalah; orang
narsis merasa lebih hebat dan besar
dibandingka n orang lain, memiliki
fantasi untuk mencapai kesuksesan dan
kekuasaan yang sangat tinggi, merasa
dirinya unik dan berbeda dari orang
lain, selalu merasa butuh pengakuan yang
lebih dari orang lain, selalu ingin
diperlakuka n istimewa, cenderung
manipul atif dan mengeksploitasi orang
lain untuk kepentingan dirinya, tidak
dapat berempati, dan selalu arogan. Jika
lantas Anda memiliki salah satu dari
ciri di atas maka Anda telah tergolong
sebagai orang yang narsis.


Lebih lanjut, ada orang yang bertutur
bahwa sekali-kali bersikap narsis
tidaklah mengapa karena narsis memiliki
efek positif terhadap kesehatan jiwa.
Jika sudah demikian, maka rasanya perlu
ada garis tegas yang membedakan
terminologi narsis dan percaya diri
[PD]. PD yang normal biasanya menghargai
pujian yang datang kepadanya, tetapi
tidak menganggap itu sebagai keharusan
demi menjaga self esteem. PD yang pula
tercermin dari keterbukaan terhadap
kritik dan hanya mengalami kekecewaan
yang sebentar kalau dikritik. Meskipun
tidak mendapat perlakuan istimewa, orang
yang PD tidak akan merasakan kekecewaan
layakn ya orang narsis. Kadar PD juga
masih sehat ketika masih bisa mengerti
dan empati pada perasaan orang lain.
Cara terbaik untuk mencegah PD tidak
berkembang menjadi narsis adalah dengan
mau mendengarkan kritik dari orang lain.
Selalu mau mengeksplorasi kelebihan dan
kekurangan pada diri juga merupakan
salah satu cara agar PD tak lantas
berubah menjadi narsis. Orang yang
benar-benar PD tidak perlu memamerkan
semua kelebihannya. Dia tahu kualitas
dirinya dan tidak bergantung kepada
orang lain agar merasa nyaman.
Sebaliknya, orang narsis justru butuh
pengakuan orang lain demi menggenjot
rasa PDnya. Inilah rahasia terbesar
orang narsis. Jauh dalam hati mereka,
tersimpan sebuah jiwa yang sangat rapuh
dan mereka menutupinya dengan menekankan
betapa hebatnya mereka yang terbukti
dari banyaknya pujian dari orang lain.
Layaknya ibu tiri Snow White yang selalu
bertanya pada kaca ajaibnya, "Mirror
mirror on the wall! Who's the fairest of
them all?"